11

Miracle in Cell No.7 *Appa saranghae

Di dunia ini tidak ada yang adil. Seadil-adilnya putusan adalah putusan di yaumul hisab nanti, hari perhitungan
Mengutip kata-kata seorang shifu saya yang selalu memberi motivasi untuk tidak menyerah pada dunia. Rasa-rasanya kutipan tersebut bagus sekali untuk menyemangati saya yang tak pernah berhenti menangis ketika menonton film korea ini.

Jadi, tadi malam, suami membawakan saya soft copy film Miracle in Cell No.7, sembari menunggu waktu shalat maghrib saya sekilas menonton film ini, cuma karena belum tertarik dan mau maghrib jadi belum menonton secara khidmat. Selesai maghrib barulah mulai terbawa suasana film.

Dari sisi saya, melihat film ini bukan dari alur, bukan dari konten atau apapun, tapi saya ingat, sebodoh apapun orang itu (red: terbelakang mental,IQ rendah) dia pasti punya sisi Rahman dan Rahiim yang Allah tanamkan dalam hati setiap hambanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lee Yong-gu, adalah seorang ayah dengan keterbelakang mental yang punya seorang putri berumur 6 tahun yang amat sangat dia cintai, Ye-Sung. Apapun Lee Yong-gu lakukan untuk membuat putrinya tersenyum. Termasuk, menabung untuk dapat membelikan putrinya tas sailor moon. Tapi,sayang, suatu hari, di saat uang tabungannya mencukupi untuk membeli tas, tas itu sudah dibeli orang, disinilah dendam seorang komisaris jenderal polisi dimulai. Anak tuan komisaris tersebut yang membeli tas, dan suatu hari, saat anak jenderal tersebut menyapa dan berniat mengejek Lee Yong-gu bahwa di toko lain ada banyak yang menjual, Lee Yong-gu mengikutinya dan naas, anak jenderal tersebut tergelincir jalan yang ber-es salju dan kecelakaan sehingga meninggal.

Lee Yong-gu yang terus mengikuti dari belakang hendak menolong dengan memberikan CPR(cardiopulmonary resuscitation): dengan melonggarkan celana sang anak agar perderan darah lancar, menekan dada dan terakhir memberi nafas buatan. Di saat bersamaan ada seorang ibu yang melihat kejadian itu dan berkesimpulan negatif bahwa Lee Yong-gu melakukan pelecehan seksual kemudian membunuh anak tersebut. Dari sinilah cerita sedih dimulai dan dari sini pulalah cerita tentang persahabatan antara sesama orang baik (teman satu sel berikut sipir penjara, guru Ye-Sung, dll) dimulai.



Namun, tidak semulus cerita dalam film india, film ini memberikan ending yang menyedihkan bahwa Lee Yong-gu tetap dihukum mati dengan intimidasi yang terjadi di belakangnya. Ye-Sung tumbuh menjadi anak yang pintar dan menjadi pengacara, dialah yang akan mengusulkan sidang kembali terhadap Lee Yong-gu 20 tahun kemudian, dan berhasil membersihkan nama ayahnya, walaupun sudah tiada :)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di saat-saat penantian mempunyai keturunan, ini jadi refleksi bagi saya dan suami. Sudah siapkah kami berkorban sedemikian rupa untuk putra/i kami kelak, dan bagi kedua orang tua kami, sudahkah kami berbakti dengan segala daya upaya. Ahhh, rasa-rasanya apapun yang kami beri tidak pernah cukup membalas cinta kasih kedua orang tua kami.
Dan di tengah-tengah sedihnya saya menonton film, saya bersyukur, Allah pilihkan saya seseorang yang masih bisa menangis ketika Allah tunjukkan ayat-ayat kauniyahnya (ayat-ayat yang tertulis di muka bumi) ^__^

Best moment dari film ini:

1. Keterbelakangan mental tidak lantas membuat Lee Yong-gu menelantarkan putrinya, tapi sebaliknya. Setiap pendapatan yang ia peroleh, dicatat dan disimpan dengan baik oleh putrinya, Ye-Sung, lengkap dengan pos keperluan dan nominalnya.

2. Saya belajar dari arogansi seorang ayah sekaligus pemangku jabatan yang tidak mau tidak ada orang yang dipersalahkan atas apa yang terjadi. Padahal, secara SOP di dunia hukum, penyelidikan harus dilakukan dengan runut bukan dengan tergesa-gesa.

3. Hari eksekusi Lee Yong-gu bertepatan dengan hari lahir putrinya, walaupun sudah melakukan perpisahan, saat keduanya menyadari inilah waktu terakhir pertemuan seorang ayah-anak, saat itulah dimana kita tidak bisa memutuskan takdir yang sudah ditetapkan. Layaknya kematian yang niscaya yang akan terjadi pada setiap hamba yang bernyawa.


Dan ya....Selamat menonton film ini ya...Semoga kebaikan-kebaikan yang tersirat di dalamnya bisa kita ambil untuk memperkaya hidup :)

Salam,

-vi^^-


11

Mengeluh~

Assalamu'alaikum wrwb,

Hola hola eperibadih :)

Selamat 2 muharram, tahun baru hijriyah...Semoga apa-apa yang mengandung kebaikan yang kita lakukan semakin meningkat, dan apa-apa yang mengandung keburukan yang kita lakukan semakin menurun, Amiin.

Aku mau bahas 'mengeluh' nih, sebenarnya ini juga bagian dari mengeluh, tapi semoga bisa saling share ya, mengeluh seperti apa sih yang masih masuk dalam batas kewajaran. Kalo menurut pendapat saya sih, mengeluh yang masih wajar adalah mengeluh yang tidak mengumbar aib diri, tidak terlalu sering, dan mengerti siapa saja yang boleh dengar keluhannya :D

Yuk, kemon kita coba bahas satu-satu menurut kepala saya.

Saya agak risih sebenarnya, risihnya bukan cuma sesekali, tapi tiap hari kerja. Ada-ada saja yang masuk ke telinga karena banyaknya orang yang mengeluh sembarangan. Karena saya ini tipikal orang yang kepikiran, jadi aja sering ngasih efek buruk ke saya. Astaghfirullah jadi merinding mau bahasnya juga nih :(

1. Mengeluh dengan mengumbar aib diri
Kadang, ketika menceritakan diri kita pribadi, ada hal-hal yang kita lupa menahan, sehingga tanpa sadar kelurlah aib diri (termasuk aib suami/anak/keluarga), padahal perkataan itu adalah doa. Bayangkan kalau kita sering mengeluh dan berucap buruk tentang diri kita/orang lain, kalau itu jadi doa gimana?
Misal: 
~Duh! Aku gak tidur nih tadi malem, ngantuk banget sekarang, anakku nakal sih, lagi seneng-senengnya main | Lha, mungkin maksudnya anaknya lagi aktif-aktifnya main,jadi dia diajak main sehingga tidur larut malam sekali. 
Semua orang mungkin sudah tahu, masa tidur anak bayi memang berbeda dengan manusia dewasa yang sudah tahu siang atau malam, jadi ya seringnya begitu, tapi bukankah mengeluh dengan heboh dengan kalimat tadi adalah menandakan kita belum siap jadi orang tua, yang belum mau nerima resiko jadi ortu baru yang punya anak bayi?.

2. Mengeluh terlalu sering
Nah, kalau yang ini, mengeluh kan sesekali ya, kalau terlalu sering namanya ngedumel bukan sih? Apa-apa dikeluhkan, baik dikeluhkan buruk apalagi. Bagi orang yang mengeluh mungkin dia tidak merasa, setelah kata-kata yang keluar dari mulutnya dia jadi lega, tapi apa pernah memikirkan orang yang di sekitarnya? Merasa terganggu dengan keluhan-keluhannya.
Hidup ini kan seperti sebuah bayangan, selalu ada sisi hitam dan putih, selalu.

3. Siapa saja yang boleh mendengar keluhan?
Kalau saya akan jelas-jelas mengucapkan dengan lantang, yang boleh mendengarkan adalah suami saya saja. Mengapa? Karena salah-salah kita memilih tempat yang dikeluhkan malah itu akan menjadi boomerang
Misal: Mengeluh tentang kerjaan, dan diungkapkan dengan plus-plus, plus ngatain atasan, ketika ada orang yang menyampaikan ke atasan hal tersebut akan rusaklah relasimu dengan atasan. Kecuali, jika mau mengeluhkan beban kerja, boleh diobrolkan dengan atasan, tapi lagi-lagi, ini bukan mengeluh, Karena sejatinya, job descirption untuk sebuah posisi sudah runut diuraikan. Dan satu lagi, ada yang mengeluh tentang tempat kerjanya/berdiamnya, tapi masih betah saja untuk tetap tinggal tanpa melakukan perubahan atau tindakan, rasanya percuma. Jadi, memang mengeluh tanpa aksi perbaikan memang penuh kesia-siaan bukan? Banyak mengeluh merupakan indikasi tidak bersyukur (Qs.An-Nahl: 18).

Note to my self: Orang yang suka mengeluh sangat tidak baik untuk diberi amanah menjaga rahasia. Ada waktu-waktu tertentu yang akhirnya amanah itu akan diabaikannya juga.

Semoga ada ibrohnya :)

Salam,

-vi^^-

Back to Top