3

Ibu hamil mendaki gunung Rinjani #Part 3

Sebelum lanjut cerita part 3 dari perjalanan menuju pendakian gunung Rinjani, saya mau membahas sedikit kebiasaan Ibu hamil di trimester ke dua: semangat makannya semakin bertambah, semangat pipis juga lumayan meningkat, ini trimester favorit bagi saya, hehehe, karena di trimester awal, saya lumayan kena dampak sugesti bahwa hamil itu ya ada mual-mualnya, makan tidak terlalu rakus, hehehe. Dan perut masih belum begitu pengap jika diisi makanan, berbeda dengan trimester tiga yang saya rasa, minum air pun bisa bikin penuh perut :p
Jadi, trimester kedua ini saat yang pas buat menikmati lagi hobi bertualang, dimana kondisi ibu dan jabang bayi sudah mulai stabil menurut saya. Alasan ini juga yang memperkuat semangat saya untuk melakukan perjalanan pendakian berdua dengan suami, mendaki gunung Rinjani.

oke, mari kita lanjut....
Setiba saya di pasar Aikmel, perut sudah ada yang ketuk-ketuk, mata berbinar melihat jajanan ala pasar yang disajikan disana: ada bakso, gorengan, kue-kue basah dan jajanan lainnya. Sayang, suami tidak mengizinkan untuk makan selain bekal yang sudah kami bawa, karena perjalanan kami baru akan dimulai dari pasar Aikmel ini.
Sambil menunggu dan melihat-lihat pemandangan yang disuguhkan pasar, saya diminta menunggu dekat keril yang sudah disusun rapih oleh suami, karena suami saya akan menanyakan ke Bapak supir mobil bak terbuka yang sepertinya siap berangkat, apakah masih tersedia 'seat' untuk 3 orang (ya, itu buat kami berdua dan keril,hehehe). Dan yap, kami masih bisa ikut menumpang, tidak ada pilihan lain, mobil bak terbuka inilah yang akan membawa kami ke kaki gunung Rinjani yaitu desa Sembalun :)

Mobil ini spesial, bisa pilih mau duduk menghadap kemana, karena semua arah tersedia, hehehe, ya bisa dibayangkan sendiri eksotisnya menaiki mobil bak terbuka. Bersama kami, naik 2 orang ibu paruh baya, membawa 2 karung bawang putih yang bisa dipastikan itu bawang putih impor :(. Haishhhh, syukurlah masa mual sudah berlalu, jadi berdampingan duduk dengan si bawang tak akan jadi masalah. Dengan jumlah penumpang 3 orang dewasa dan dua orang anak kecil, bismillah, kami berangkat menuju desa Sembalun.


Di sepanjang jalan, saya dapat merasakan segarnya udara hutan, pukul 10 pagi di kala itu, matahari sedang di posisi tepat bagi saya untuk sedikit merasakan terpaan sinar mentari pagi ditambah angin gunung yang sudah mulai terasa. Untuk mengurangi jenuh, saya lanjutkan makan bekal (pear xiang lie dan choco crunch dan susu), sesekali terus merayu dua anak kecil dan ibu-ibu yang duduk tak jauh dari saya, walaupun sukses ditolak sambil membalas senyum terkantuk-kantuk. Saya juga tak ketinggalan mengantuk. Tapi kantuk saya tidak bertahan lama, karena ada sekawanan monyet yang selalu meyambut ketika ada mobil lewat, sepertinya mereka hafal, jika ada mobil lewat pasti akan ada makanan yang dilemparkan untuk mereka. Melihat jarak antara mobil dan kawanan monyet tidak terlalu jauh, sayapun bertanya ke ibu-ibu yang di sebelah saya: Boleh saya kasih makanan? Bolehla, kata ibu itu dengan cepat.
Choco crunch dan sisa pear saya lemparkan dan wuzzzz mereka berebutan satu sama lain. Seruuu...! Dan...1,5 jam berlalu, sampailah kami di basecamp gunung Rinjani. 




Kami melakukan registrasi di basecamp, bayar tiket masuk dan bernegosiasi dengan porter yang dicari langsung oleh salah satu petugas basecamp. Sayang, cerita tentang porter ini sedikit pahit, sehingga kami memutuskan untuk mendaki berdua saja, tanpa porter, sementara keril yang berat itu murni dibawa sendiri oleh suami saya.
Tentang porter akan dibahas di judul sendiri ya ;)

Jam 1 siang kami putuskan untuk memulai pendakian. Diantar dengan motor sampai di bawak nao, biar memotong track, itu pesan teman saya. Dan benar saja, disana banyak bule yang sudah menyelesaikan pendakiannya, berkumpul pula porter yang ikut dengan si bule. Sayang, mereka terlalu lelah jika harus langsung mendaki, jadi usaha mencari porter pengganti pupus sudah.
Jam 1.30 mulai menyusuri bawak nao, bertemu ladang, gerombolan sapi yang dibiarkan begitu saja mencari makan, dan istirahat sejenak untuk makan siang dengan memandang puncak Rinjani.
bumil sedang menikmati nasi udang yang dibeli di rm. dekat basecamp sembalun


2 keril super berat, deuter itu harusnya saya yang bawa,
 tapi suami merasa ia masih kuat untuk bawa dua keril itu

Makan selesai, hawa sudah mulai dingin, lama berdiam akan semakin dingin. Jadi setelah suami selesai merapihkan ulang keril, kami mulai berjalan lagi. Dan Maha Baik Allah pertemukan kami dengan 1 grup yang juga sedang mulai pendakian. Mereka bertiga yang selanjutnya akan banyak menolong kami, yang kami repotkan perjalanannya. Mereka adalah Mas Jan dan tim.
Inilah mereka:

Sengaja disamarkan foto ini, biar penasaran,
heheheheh, padahal yang ambil foto lupa setting mode :p
Perjalanan menuju pos 1 masih kuat saya lalui tanpa banyak mengeluh capek, karena mengejar matahari yang sudah akan terbenam. Penyakit saya, kalau melihat gelap takut akan semakin menghantui. Jadi saya kuatkan untuk mengikuti ritme Mas Jan dan timnya. Setelah melewati ladang, kami akan masuk ke kumpulan hutan yang menurut cerita Mas Jan, baiknya kami bisa keluar dari situ sebelum maghrib. Hamdalah, we made it!
Setelah shalat maghrib di pos 1, kami lanjutkan lagi perjalanan, hari sudah mulai gelap dan saya sudah mulai parno, jadi disusunlah urutan baru: teman mas Jan 1, Mas Jan, saya, suami dan teman mas Jan 2. Agak tertatih saya rasakan, karena memang kondisi psikis saya sudah tidak prima lagi. Hampir 2 jam dari pos 1 menuju pos 2, saya dengar samar-samar Mas Jan dan tim diskusi untuk mau lanjut saja ke pos 3 dan akan ngecamp disana, dan kami, disarankan untuk ngecamp di pos 2 saja. Mengingat saya yang sudah tidak ada lagi suaranya, pasti itu lelah sekali kata Mas Jan. Mengingat kami ini kan tujuannya menikmati alam, tidak ada target khusus disana, yang jelas ada 2 hari lagi spare waktu kami di Rinjani, sebelum bertolak kembali ke Bandung via Bali.

Sampai di pos 2 kira-kira pukul 7.30, saya amat senang, ini waktunya saya beristirahat, dan lagi, disana sudah ada yang ngecamp 1 tenda. Mas Jan dan tim pun tidak lantas meninggalkan kami dan terus melaju ke pos 2, tapi berhenti untuk istirahat di pos 2. Kami makan snack bawaan teman Mas Jan dan menyapa penghuni tenda yang sudah ngecamp, rupanya ada Dian dan temannya yang telah selesai mendaki. Tak lama kemudian, datang 1 grup jumlah anggotanya sembilan, mereka bawa 3 porter dan akan meneruskan perjalanan sampai ke pelawangan sembalun malam itu juga. Sama seperti Mas Jan dan tim, mereka pun berhenti di pos 2 untuk istirahat dan bertukar sapa dan makanan. Mereka dari Jakarta rupanya. Satu yang menarik dari grup ini adalah beberapa dari mereka melakukan trail running pada saat pendakian, wow. Malam-malam, trail running, itu seruuuu bukan? hehehe, trail running ampuh untuk usir penat bagi mereka yang suka, saya  sih lumayan suka untuk agak trail running ketika turun pendakian, hehehe.
Kami menghabiskan malam di pos 2, melihat bintang yang jaraknya begitu dekat. Mas Jan dan tim membantu sampai suami mendirikan tenda. Setelah tenda set, saya pun langsung shalat isya dan melakukan rutinitas: minum obat penguat rahim dan makan lagi, kemudian baru tidur, seingat saya, suami masih melanjutkan obrolannya dengan Dian.

lanjut di part 4 ya....

Biaya yang dikeluarkan:
Mobil bak terbuka dari pasar aikmel-sembalun: 30.000/orang
Ojeg dari basecamp sembalun ke bawak nao: 15.000/orang
Nasi bungkus dengan udang goreng dan sayur: 30.000
Nasi bungkus dengan ikan laut dan sayur: 35.000





3 comments

16 December 2015 at 12:12

Keren banget Yanda Manda ini, kecil-kecil setroooong! Ga sabar nunggu cerita bawa si Janimut ke sini mengenang masa-masa dia di perut ikut mendaki hihi!

Anonymous
21 December 2015 at 10:30

ih, hiking bawa diri sendiri saja repotnya bukan main, ini sampe bawa-bawa bayi dalam perut. itu jelas keren!

24 December 2015 at 10:19

Menunggu lanjutan ceritanyaaa.. Keren deh Manda! Semoga bisa ikut nyusul kesana lagi! Kangen gunuuung!!!

Post a Comment
Back to Top